JAKARTA - Para aktivis tidak mempermasalahkan cerita drama yang menjadi tema utama film DiBalik 98. Mereka menganggap peristiwa 98 milik semua komponen aktivis.
"Tak ada masalah dengan drama yang menjadi fokus utama sedangkan peristiwa 98 dipakai sebagai latar belakang film Di Balik 98," kata mantan aktivis mahasiswa, I Gusti Agung Anom Astika.
Dia menilai, situasi perjuangan bisa mengambil berbagai sudut pandang untuk bisa memberikan gambaran perjuangan saat itu. Menurutnya, peristiwa 98 adalah milik rakyat, dan merupakan sejarah perjuangan Indonesia.
"Ada banyak organisasi perlawanan di berbagai kota yang telibat. Begitu juga komponen masyarakat yang selama puluhan tahun direpresi oleh rezim Orde Baru, juga terlibat perjuangan mewujudkan reformasi pada saat itu," kata Anom.
Perjuangan bisa digambarkan sebagai akumulasi perasaan banyak orang yang inginkan perubahan.
"Perjuangan itu tidak mengandaikan satu kelompok berada di atas yang lain. Ini lebih pada perjuangan di mana orang bergerak untuk tujuan yang sama," kata Anom yang pernah dipenjara untuk perjuangan reformasi.
"Kalaupun ada simbol bendera salah satu komponen masyarakat itu adalah pilihan sutradara," sambungnya, menepis anggapan film ini tidak menggambarkan peristiwa sebenarnya.
Lukman Sardi sebagai sutradara menegaskan bahwa film arahan pertamanya, Di Balik 98, merupakan film keluarga dan memakai setting peristiwa Mei 1998. Film ini menurutnya tidak menonjolkan peristiwa politiknya karena tidak mengupas tuntas peristiwa 98, tapi mengambil sisi yang lain. Lukman sendiri mengaku melakukan riset untuk filmnya ini.
Lukman juga menyadari kalau film yang diarahkannya ini merupakan isu yang sensitif. Namun, bagi dia, masing-masing penonton bebas menginterpretasikannya.